Menjadi Buruh, ...Menjadi Diri Sendiri
SULIT dibayangkan ketika jam kerja kaum buruh
yang telah dipangkas menjadi delapan jam dari 16 jam kerja sejak tahun
1889, masih belum memberi kemakmuran. Sepertiga dari total sehari, waktu
dibaktikan untuk kerja. Namun sebagaimana kata-kata Chairil Anwar, “kerja belum selesai, belum apa-apa”, sampai
kini 123 tahun kemudian kesejahteraan buruh masih berada dalam ruang
imajinasi. Imajinasi yang jelas memaksa untuk muncul ke hadapan publik
hingga berakhir pada ketakpercayaan kaum buruh terhadap pemilik modal.
Padahal sehari-hari keduanya berinteraksi dalam rangka bangun yang
bernama industri dengan perolehan keuntungan yang disepakati berdasar
undang-undang yang berlaku. Padahal pemerintah setempat pun telah
berupaya keras menempuh tahap cukup sulit sehingga lahir undang-undang
yang mengatur perburuhan. Regulasi inilah yang pada saatnya memicu
ketidakpuasan. Buruh menuntut kesejahteraan yang layak, pemerintah
menetapkan Upah Minimal Regional yang disesuaikan dengan APBD setempat.
Sementara di sisi lain owner atau pemilik modal pun menghendaki besaran
keuntungan atas usahanya.
Tak pelak fakta itu menimbulkan kisah pilu, sebagaimana menimpa Wiji
Tukul, Marsinah dan ribuan “Marsinah” lain di Indonesia. Adanya tuntutan
kaum buruh, baik secara prosedural melalui serikat pekerja atau unjuk
rasa terbuka ~merupakan proses kesadaran terciptanya balancing of live,
keseimbangan hidup. Tuntutan untuk keseimbangan itulah yang memaksa
perlunya sebuah peringatan internasional Hari Buruh Sedunia. Di seluruh
penjuru bumi yang dihuni kaum buruh, 1 Mei merupakan arena unjuk rasa
kaum buruh.
Tenaga atau buruh Indonesia di dalam dan di luar
negeri pasti menemui masalah. Bukan hanya ketaksepahaman dengan majikan,
tetapi juga dengan organisasi negara yang mengurus
perburuhan. Keberadaan Badan Nasional Penyalur Tenaga Kerja Indonesia
(BNPTKI), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), dan serikat buruh
yang ada di perusahaan seharusnya mampu memediasi persoalan
yang muncul sekitar perburuhan. Namun efektivitas organisasi tersebut
kadang kurang terukur serta terkesan menjadi wakil pemerintah untuk
mendudukkan buruh di pihak objek. Tentu saja buruh menolak karena
sebagai warga Negara dan pembayar pajak serta retribusi, mereka ingin
ditempatkan sebagai subjek. Perbedaan titik pandang inilah penyebab
ketakpercayaan buruh terhadap lembaga-lembaga tadi.
Demo kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
ketika berkunjung ke Hongkong dan Korea akhir Maret 2012 lalui menyoal
rencana kenaikan harga BBM tidak luput dari keterlibatan kaum buruh.
Demo buruh atau TKI di Hongkong selalu gagal menemui Konsulat Jendral
Republik Indonesia di sana. Uniknya, kata seorang teman pengunjuk rasa
itu, demo kepada pemerintah Hongkong malah diterima baik-baik dan
disikapi. Persoalan buruh Indonesia di luar negeri seharusnya segera
diselesaikan akar masalahnya. Akar masalah itu terletak pada penghargaan
pemerintah setempat terhadap pemerintah Indonesia. Saya kira berbagai
persoalan yang memalukan prestise Indonesia di luar negeri (Arab Saudi,
Malaysia, Hongkong, dsb) berangkat dari lemahnya posisi tawar pemerintah
RI terhadap pemerintah negara lain. Artinya susah diharapkan Kedutaan
Besar Indonesia (KBRI) atau Konsulat Jendral RI di luar negeri berhasil
memberikan perlindungan hukum kepada TKI.
Solidaritas
Menjadi diri sendiri, idealisme hebat di jaman kini ketika kuasa hedonis dan hasrat pemenuhan finansial begitu menggoda. Menjadi diri sendiri dengan kekuatan tekad dan bekal ideologi, kendati ia barang langka ~tetap harus diupayakan. Menjadi tanpa harus diawali menjadi, tak sepaham dengan Erich Formm : untuk menjadi harus memiliki. May Day 1 Mei bukan jadi gelanggang sibuk kaum yang menjadi karena memiliki. Menjadi hebat karena memiliki jabatan strategis di pemerintahan atau legislatif atau di kantor swasta. Mereka itu bahkan jerih dan gerah menyaksikan puluhan bahkan ratusan ribu buruh unjuk rasa pada 1 Mei. Mereka merasa terganggu baik privacy maupun aktivitasnya. Namun jika Anda menjadi tanpa diawali memiliki, Anda tidak ragu masuk dalam kerumunan unjuk rasa itu. Siapa pun Anda : buruh lepas, buruh kontrak, buruh bagi diri sendiri alias profesional~ sepanjang Anda menjadi diri atas kemasan ideologi, ekspresikan May Day dengan cerdas.Bagi sebagian orang kaum buruh kerap dikatakan sebuah gerakan dengan ideologi tertentu, ideologi perlawanan manakala orang kecil berhadapan dengan orang besar. Bagi kalangan lain kaum buruh kadang dimaknakan sebagai pengejawantahan ajaran sosialisme dan atau komunisme. Sementara kelompok lain menyebut kaum buruh sebagai kiri. Sosialisme, Komunisme, dan Kiri nampaknya masih menjadi semacam stigma bagi penguasa di banyak negara. Benarkah demikian? Benarkah gerakan kaum buruk merupakan perlawanan status quo dan selalu anti kemapanan? Lantas apa kausalitas antara perlawanan terhadap status quo dengan anti kemapanan? Artinya jikalau kelompok buruh memimpin sebuah negeri, terbebaskah ia dari perlawanan kaum lain? Bagaimana Polandia saat dipimpin Lech Walesa, buruh kapal dari pelabuhan Gdanks yang sempat menjadi Presiden Polandia? Ataukah bahkan ada gerakan perlawanan dari kaum buruh sendiri, kaum yang diperjuangkannya, bukan lantaran ia sendiri berbasis buruh.
Lech Walesa mantan tukang listrik (buruh di pelabuhan) dan aktivis serikat pekerja itu menggantikan Aleksander Kwasniewski sebagai Presiden Polandia tahun 1990-1995. Ia pun ikut mendirikan Solidamosc, serikat pekerja independen pertama di Blok Soviet. Dan pada tahun 1993 memperoleh penghargan Nobel Perdamaian. Lahir di Popowo 29 September 1943, yang terkenal sebagai pendobrak rezim otoriter di negaranya selama dekade 1980-an itu ingin menunjukkan bahwa perjuangan menegakkan demokrasi tidak mengenal usia dan kedudukan. Pun tidak harus menjadi politisi dalam berjuang mewujudkan demokrasi.
Kembali ke paragraf awal, untuk berbuat tidak harus berawal dengan memiliki. Kita menjadi diri kita tanpa terbebani status privat dan publik untuk terus menggelorakan serta menyampaikan pentingnya gerakan solidaritas dalam mempersatukan masyarakat demi perubahan.Solidaritas dapat berlangsung manakala sebuah komunitas dalam kepentingan yang sama menggerakkan aksi, entah secara prosedural maupun aksi jalanan. Inilah hal menarik dari Hari Buruh 1 Mei yang senantiasa menggetarkan. Betapa tidak, puluhan bahkan ratusan ribu buruh melakukan aksi unjuk rasa untuk perbaikan haknya sebagai warga dunia. Bisa berupa kenaikan upah, pernghargaan hak-hak kemanusiaan, maupun penghapusan pekerja out sourching alias tenaga kerja kontrak. Kaum buruh sebagaimana di atas merupakan warga dunia yang sadar atas hak-haknya, akan tetapi pemenuhan hak-hak itu tetap berada di tangan penguasa negeri setempat. Dan tatkala undang-undang perburuhan yang berlaku bertentangan dengan hak-hak kemanusiaan, maka kaum buruh mengekspresikan keinginannya melalui teater jalanan, pada 1 Mei.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar